The Sims 4

Screenshot by Hiu Tukang Coret: The Sims 4

Sesuatu yang menarik perhatianku

Five Nights at Freddys Ultimate Custom Night

Screenshot by Hiu Tukang Coret: Five Nights at Freddy's Ultimate Custom Night

Juga Psikologi, tentu saja, karena aku memiliki pengetahuan dan pendidikan di bidang itu

Wednesday 28 August 2019

Food for Thought



Sebelumnya, aku mau tanya. Kalian sering, gak, pas lagi samperin tempat buat makan atau cuma sekedar nongkrong/nongki-nongki, dan memperhatikan meja yang baru saja ditinggalkan pengunjungnya? Maksudku 'baru saja', ya, memang 'barusan orangnya pergi' dan meja itu belum disentuh waiter atau pelayannya untuk dibersihkan?

Ngelihat, gak, biasanya kondisinya gimana? Izinkan aku membayangkannya seperti ini: Piring kotor (yang kadang masih banyak makanan di atasnya) dan gelas dingin yang masih ada isinya--bahkan setengah penuh--berserakan memenuhi seantero meja itu dan permukaan mejanya penuh dengan sesuatu yang basah karena embun atau tumpahan yang menetes dari gelas itu, belum lagi tisu bekas yang--kalau tidak berserakan gak karuan di atas meja--tertumpuk memenuhi piring kotor itu?

Kalau kutanya, kalian mau gak duduk dan makan disitu? Gak usah dijawab, kita tahu jawabannya. Kalian pasti minggat atau setidaknya cari meja yang masih kosong. Mungkin kalian menemukan meja yang kosong, tapi ternyata masih ada bekas-bekas tumpahan dari pengunjung sebelumnya yang menempel di mejanya. Atau lebih parah lagi, sudahlah tempat makan itu penuh, meja yang tersedia hanya meja yang penuh piring dan gelas kotor (dan tumpahannya yang membasahi meja) itu, dan mau gak mau kalian harus duduk disitu. Jijik banget, kan, ya? Bisa jadi itu malah menurunkan selera makan kalian. Kira-kira, kalian udah bisa menebak kemana arah tulisan ini? Ya, tentu saja, arah tulisan ini dari kiri ke kanan lalu lihat baris kebawahnya, lalu ulangi lagi. Maksudnya, kemana topik dari tulisan ini?

Kalau belum, biar aku perjelas lagi, tanpa bermaksud menggurui, tentu saja. Kalian pernah berpikir apa yang mungkin dipikirkan oleh waiter atau orang yang biasa membersihkan meja bekas tempat kalian makan? Kalau kalian pikir, "Oh, itu, kan, pekerjaan mereka. Ya, jadi mereka yang urusin." Maaf, ya, kalau aku bilang begini: "Kalian pemalas... dan sangat mungkin sekali egois."

Aku masih percaya, kok, masih ada orang baik diantara kita, yang masih mau memikirkan orang lain tak peduli seberapa rendahnya pekerjaan orang lain itu. Untuk itu aku menulis ini, untuk mengajak dan mengingatkan kita semua.

Yang ingin kukatakan adalah, khususnya ketika kita makan di tempat umum, gak peduli dimanapun itu (dari level warteg sampai resto mevvah sekali), kita menjaga perilaku kita pada waiter tersebut. Misalnya, dengan mengatakan terima kasih--dengan ramah, tentunya--pada waiter yang mau susah-susah mengantarkan makanan pesanan kita ke meja kita (yang sebenarnya, kalau mungkin, kita bisa ambil sendiri seperti layaknya makan di restoran cepat saji).

Tambah lagi, perihal meja berantakan yang penuh piring dan gelas kotor itu. Itu bisa dicegah, kok. Berhubung itu bekas makan dan minum kita, mestinya kita gak ngerasa jijik, kan, buat beresin semua itu? Jadi, mestinya bisa dong, buat ngelakuin semua itu demi mempermudah dan--secara tidak langsung--menghormati mereka yang (kata sebagian orang) berprofesi 'rendahan' sebagai waiter itu?

Ini sedikit berhubungan dengan psikologi, pernah gak mencuci piring dan gelas bekas makan sendiri? Harusnya, mau, kan? Gimana kalau kita gak cuma mencuci bekas kita sendiri, tapi sekaligus mencuci bekas dari seluruh penghuni rumah atau kosan kita? Belum lagi, kita melihat piring-piring dan gelas kotor itu menumpuk gak karuan di wastafel? Beuh, makin males jadinya buat bersihin. Sebenarnya, berdasarkan pengalaman pribadi, rasa malas itu akan menghilang ketika kita merapikan terlebih dulu tumpukan yang ada di wastafel itu. Mungkin tidak secara instan, tapi coba tinggalkan wastafel yang sudah dirapikan itu selama beberapa saat, lalu kembali lagi? Ada kemungkinan feeling kita akan berubah melihatnya dan lebih niat untuk mencuci semuanya. "Kan, ada pembantu, mereka aja yang bersihin." Ya, kalau kalian cukup tajir untuk punya asisten rumah tangga, kalau enggak? Mau nunggu sampai kapan sampai piring dan gelas itu bersih? Lagipula akan ada masanya mereka para ART tidak bisa membantu kita dengan pekerjaan remeh itu--karena sakit, misalnya. Tapi bukan ART-nya yang mau kuomongin.

Membereskan tempat kita makan sebenarnya sangat mudah sekali, tapi mengapa seringkali kita tidak mau? Dalam Sosiologi dan Psikologi (khususnya Psikologi Sosial), ini disebut konformitas (dan masih ada satu istilah lagi tapi aku lupa persisnya apa, jadi kita pakai istilah konformitas dulu). Konformitas adalah pengaruh sosial dimana seseorang mengubah tindakannya mengikuti norma (tertulis maupun tidak tertulis) yang berlaku di masyarakat (baik maupun buruknya). Apa kalian melihat hubungannya dengan topik piring dan gelas berantakan? Belum?

Begini, manusia--sadar tidak sadar--akan memiliki kecenderungan untuk mengikuti pola sesamanya meskipun ia bukan dari bagian kelompok itu. 'Pola' Itu bisa berarti apapun: tindakan, logat bicara, cara berpikir, atau apapun. Hubungannya dengan piring dan gelas berantakan ini adalah sebagian besar dari kita sudah terbiasa membiarkan piring dan gelas bekas makan kita berserakan di tempat umum. Darimana kita belajar hal begitu? Dari orang lain sebelum kita, yang melakukan hal yang sama. Kita akan berpikir, "Oh, mereka melakukan hal begitu gak apa-apa, kok." dan berakhir meniru perilaku tersebut. Kita juga seringkali gak menyadari bahwa akan ada orang yang meniru perilaku kita. Lama-lama, hal yang sifatnya masih konformitas itu, menjadi kebiasaan, dan akhirnya hampir seperti budaya, atau malah sudah menjadi budaya yang mengakar kuat.

Masih berkaitan dengan piring dan gelas itu. Bicara soal budaya, aku pernah mendengar dari sekian banyak budaya yang ada, ada satu budaya yang mengatakan bahwa orang yang menghabiskan seluruh makanan di atas piringnya akan dianggap orang yang serakah atau rakus. Aku tidak tahu budaya mana yang seperti itu dan aku bukan tipe orang yang menyukai tradisi (apalagi tradisi yang buruk kayak menyisakan makanan dalam jumlah besar di atas piring) tapi kita bisa menyaksikan hal itu hampir dimanapun di negara kita. Bisa tidak kita menghabiskan apa yang kita pesan di rumah makan atau restoran tersebut? Kalau kita termasuk orang yang beragama, tentu saja kita tahu membuang-buang makanan dan minuman itu gak baik. Bahkan kalaupun salah satu dari kita ada yang atheis sekalipun, mungkin akan tahu bahwa hal itu tidak baik.

Nah, jika kita bisa menghabiskan makanan dan minuman kita, itu juga mempermudah para waiter itu mengerjakan tugasnya. Tapi itu saja belum cukup. Tidak hanya menghabiskan, tapi kita juga membantu menyusun atau menumpuk tempat bekas kita makan dan minum ke satu bagian meja--idealnya, di tengah meja--secara rapi dan mengelap embun yang menetes ke permukaan meja bekas kita makan (misalnya, dengan tisu serbet yang disediakan tempat makan itu) dan membuang tisu bekas itu sendiri (bukan waiter yang melakukannya) ke tempat sampah yang tersedia. Waiter akan merasa dihormati karena tindakan yang sebenarnya sepele itu, aku yakin.

Intinya adalah, kita harus bisa menghentikan hal buruk yang sudah menjadi kebiasaan ini--bekas makan dan minum yang gak hanya tersisa banyak tapi juga berserakan--Bagaimana caranya? Bisa dimulai dari diri kita sendiri. Jika penjelasanku dapat dipahami dan kalian sepemahaman denganku, aku punya keyakinan tradisi buruk ini bisa dihentikan. Tidak sekaligus, memang, tapi bertahap. Kalian dengar sendiri, kan, pepatah begini, "Roma tidak dibangun dalam sehari." Segala sesuatunya ada tahap, jika kita konsisten untuk melakukannya, akan ada orang yang akan meniru perilaku positif kita dan bukannya tidak mungkin akan muncul konformitas baru yang positif dan nantinya menjadi kebiasaan dan akhirnya budaya positif yang mengakar (seperti halnya budaya makan bersisa dan berantakan ini juga mengakar dalam kebudayaan kita).

Sebagai penutup, aku akan memperlihatkan bagaimana aku sendiri melakukan hal yang kutuliskan diatas. Yaitu tempat bekas aku makan dan minum, tidak peduli dimana aku makan, aku sendiri yang merapikannya ke tengah meja untuk memudahkan dan mempercepat kerja waiter yang membereskannya. Ini bukan promosi, lho, ya.


Gambar diatas adalah contoh "Budaya Tumpuk Tengah" yang kulakukan ketika aku selesai makan di sebuah restoran khas Jepang beberapa hari lalu. Persisnya, di Ichiban Sushi yang terletak di Mall Living World Pekanbaru, di lantai dasar. Aku sempat menumpahkan sedikit kecap asin ke mejanya, dan aku segera membersihkannya dengan tisu yang tersedia (namun tidak sampai boros tisu, seperlunya saja, yang dalam kasus kecap ini, hanya perlu sehelai tisu), dan aku membuangnya sendiri ke tempat sampah yang tersedia setelah membayar ke kasir (berhubung tempat sampahnya di dekat kasir).


Gambar terakhir di atas, adalah ketika aku mengunjungi cafe yang tersedia di rumah sakit, persisnya Eka Hospital Pekanbaru. Mungkin masih agak berantakan, tapi setidaknya waiter gak perlu membersihkan mejanya dan hanya perlu fokus ke tumpukan piring dan gelas kotor yang ada di tengah meja. Hey, kubilang perubahan itu perlu tahap, kan, hehe?

Gak peduli dimanapun aku makan, aku akan selalu menghabiskan seluruh makanan dan minuman yang disajikan, dan menerapkan "Budaya Tumpuk Tengah" ini. Tidak hanya menumpuknya di tengah meja, juga mengelap embun atau apapun yang membasahi permukaan meja ketika sedang makan, dengan tisu yang disediakan dan membuangnya sendiri ke tong sampah yang disediakan.

Mudah-mudahan, artikel ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Terakhir satu lagi, Perubahan seringkali diawali dari kita sendiri, yang jika dilakukan secara konsisten, nantinya perubahan itu akan ditiru oleh orang lain sebelum akhirnya tersebar dan menjadi kebiasaan orang banyak.

0 komentar:

Post a Comment